Kamis, 08 September 2016

INDUSTRI GAMELAN


Selain kesenian reog kabupaten Ponorogo juga merupakan sentra pembuatan gamelan Jawa, banyak perajin yang menekuni gamelan ini secara tradisional.

Para perajin tersebar di kecamatan Jetis, Sukorejo, dan yang paling banyak di daerah Paju 1km dari alun-alun ke arah selatan utara RSUD Harjono Ponorogo, tepatnya jalan menuju Trenggalek dan Pacitan.
Daerah Paju ini sejak dulu terkenal dengan perajin kompor minyak dan alat-alat rumah tangga berbahan drum bekas, bekas tempat oli ataupun bekas kaleng aspal.

Ada beberapa bahan yang dipakai, dan dari bahan inilah bisa menentukan kualitas. semakin bagus bahan akan semakin mahal harga yang diberikan.


Untuk bahan drum bekas adalah harga yang paling murah, sekitar 95-100 an juta. Mula-mula drum bekas dipotong menjadi lembaran seperti plat, baru dibentuk pola-pola gong atau alat gamelan lainnya.

Untuk bahan plat besi dengan divariasi kuningan dihargai 150-an juta rupiah, dan harga inilah yang paling sering diambil pemesan.
Untuk bahan kuningan dihargai 350-an juta, sedangkan bahan perunggu bisa tembus 1 milyar rupiah.


Seperti halnya mbah Kusnan sejak awalnya sudah menggeluti membuat gamelan Jawa, dan ketrampilan ini  ia dapatkan dari bapaknya yang juga dulunya perajin. Ada 15 orang pekerja yang bekerja di bengkel gamelannya, yang setiap orangnya mempunyai ketrampilan masing-masing. 


 
Ada yang bertugas memotong drum untuk dibuat lembaran-lembaran, ada yang mengelas, menggerinda, ada spesialis kuningan, ukiran kayu, tukang cat, tukang gendang, dan lainnya.

Plat besi di potongi sesuai pola, direkatkat dengan las, dan ditengahnya dikasih kuningan, karena bahan kuningan akan menghasilkan nada yang bagus yang kualitasnya dibawah perunggu.

Mereka sudah ahli dalam menentukan nada, insting mereka yang bekerja tanpa peralatan canggih untuk menentukan tinggi rendah, tangan dan telinga mereka luar biasa peka.Tak hanya pasar lokal yang dilayani, Sumatra, Jakarta, Solo, Sulawesi, bahkan kali ini mbah Kusnan sedang lembur karena pesanan dari Sumbawa sebanyak 3 perangkat harus segera jadi.
Kayu penyangga gamelan di ukir dan dicat berwarna merah, atau tergantung pesanan, bahan kayu yang sering dipakai adalah angsana. mahoni, dan kadang juga jati . Untuk bahan jati harganya akan lebih mahal dibanding kedua kayu yang pertama.




Sangat mudah untuk menuju bengkel ini, karena terletak dijalan besar arah Ponorogo-Pacitan dijamin mudah dijangkau, dan kebetulan dilewati jalur angkutan umum.




 

INDUSTRI JENANG MIRAH KHAS PONOROGO





Belum lengkap rasanya jika berkunjung ke Ponorogo tidak membawa pulang jajanan manis, legit, dan lembut khas Kota Reyog satu ini, Jenang namanya. Di Ponorogo terdapat banyak rumah produksi jenang. Salah satu jenang legendaris adalah Jenang Mirah, yang terletak di Kecamatan Jetis, sekitar 7 Km dari Alun-alun kota Ponorogo.
Disebut legendaris karena Jenang Mirah ini sudah mulai produksi sejak tahun 1955. Di kota lain, Jenang lebih dikenal dengan nama Dodol. Sedangkan Mirah sebenarnya adalah nama pemilik yang merintis usaha pembuatan jenang di desa Josari, kecamatan Jetis Ponorogo. Penyematan nama Mirah ini akhirnya dijadikan identitas yang membedakan jenang ini dengan produksi jenang rumahan lainnya.
Bahan baku Jenang Mirah adalah bahan-bahan pilihan dengan kualitas baik. Bahan-bahan ini dipasok langsung dari luar kota, bahkan hingga luar pulau Jawa seperti dari pulau Sumatera. Sementara itu, Jenang Mirah dibuat menggunakan resep turun temurun yang masih bertahan hingga sekarang. Komposisi dan takaran pembuatannya juga masih tetap dijaga. Inilah yang membuat cita rasa dan tekstur Jenang Mirah masih tetap melegenda. Cita rasa manis legit yang dimiliki Jenang Mirah bertambah unik karena ada sentuhan aroma sangit yang diperoleh dari proses pemasakan jenang yang menggunakan tungku kayu bakar.
“Dulu itu ada wisatawan Australia, katanya, ini makanan yang dibuat secara tradisional, rasanya lain dengan yang diproduksi oleh pabrik,” cerita Pak Handoko, putra termuda Ibu Mirah.

Terdapat empat jenis jenang yang dijual di Jenang Mirah, yaitu jenang ketan, jenang beras, jenang campur, dan jenang waluh. Menurut Pak Handoko, konsumen lebih banyak berminat membeli jenang campur yang terbuat dari tepung beras dan tepung ketan. Sementara jenang waluh diproduksi hanya saat musim buah waluh tiba. Karena Jenang Mirah termasuk jajanan basah yang tidak menggunakan pengawet sama sekali, maka makanan ini hanya tahan selama 5 hingga 7 hari. 

Sebelum mendirikan toko di rumahnya, Ibu Mirah menjajakan jenang produksinya dari pasar satu ke pasar yang lain, juga di kereta-kereta yang saat itu masih beroperasi. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1980-an Ibu Mirah membuka toko kecil untuk melayani para konsumen yang akhirnya berkembang hingga saat ini.
Keberadaan Jenang Mirah membawa berkah tersendiri bagi para tetangga. Pasalnya, outlet Jenang Mirah ini tidak hanya menjual produk olahannya, namun juga menjual produk-produk yang dibuat oleh para tetangga. Selain itu, Jenang Mirah juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya sehingga dengan ini dapat meningkatkan perekonomian warga desa Josari.
Jenang Mirah telah ramai dikenal hingga luar kota, bahkan hingga mancanegara. Tidak heran jika setiap hari outlet Jenang Mirah ramai pengunjung. Terlebih ketika musim liburan dan lebaran tiba, outlet Jenang Mirah pasti dipadati pembeli baik dari dalam maupun luar kota.
Anda bisa mengunjungi pusat oleh-oleh Jenang Mirah yang beralamatkan di Jalan Raya Ponorogo-Trenggalek KM 7, dekat Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Jika berkunjung ke Ponorogo, jangan lewatkan membeli jajanan khas Ponorogo ini sebagai buah tangan Anda.

Salam Pariwisata!! 







Batik Klasik di Ponorogo 



 
Seni batik di Kabupaten Ponorogo memiliki riwayat yang cukup tua. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang. Dari sini kemudian meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.
Saat itu zat pewarna yang digunakan masih berupa pewarna alami yang berasal dari kayu-kayuan seperti pohon tom, akar mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan kain dasarnya ditenun menggunakan ATBM. Mori import baru dikenal kira-kira akhir abad ke-19 sehingga muncullah nama mori Primis dan Primissima yang merupakan istilah dalam perdagangan tekstil Eropa.

Munculnya Batik Cap di Ponorogo

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama. Awalnya teknik ini dibawa ke Ponorogo oleh seorang pengusaha Tionghoa bernama Kwee Seng dari Banyumas. Saat itu, sekitar awal abad ke 20, daerah Ponorogo terkenal batiknya menggunakan pewarna nila yang tidak luntur. Hal itu yang menyebabkan pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo yang kebanjiran order memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik cap di Ponorogo. Batik cap asal Ponorogo dikenal sebagai batik kasar berbahan mori biru dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang membuat batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Dalam batik tulis, para pembatik Ponorogo banyak mensupply kebutuhan batik dari pasar Jawa Tengah. Itulah sebabnya banyak pembatik didaerah ini menghasilkan motif-motif klasik Jawa Tengah yang banyak dipesan orang. Sebagai contoh, hingga saat ini motif Sekar jagad dengan sentuhan khas batik Ponorogo yang berorientasi ke selera Jawa Tengahan seperti warna hitam, coklat dan putih masih banyak dibuat. Hal baru yang muncul pada Sekar Jagad Ponorogo adalah warna biru muda misalnya. Ini yang membedakan dengan Sekar jagad klasik.


REOG PONOROGO




Reog ponorogo merupakan salah satu seni tarian di Jawa Timur yang sampai saat ini masih terus di lestarikan. Reog ini merupakan kebudayaan dan kesenian asli Indonesia. Memang budaya dan seni ini sering dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis, oleh karenanya tak jarang sering dihubungkan dengan dunia kekuatan spiritual bahkan dunia hitam.
Lepas dari hal itu, Reog Ponorogo ini oleh masyarakat biasanya sering dipentaskan saat acara pernikahan, khitanan, hari-hari besar nasional, dan juga festival tahunan yang diadakan oleh pemerintah setempat. Festival yang diadakan oleh pemerintah tersebut terdiri dari Festival Reog Mini Nasinonal, Festival Reog Nasional dan juga pertunjukan pada bulan purnama yang bertempat di alun-alun ponorogo. Sedangkan Festival Reog Nasional itu selalu diadakan saat akan memasuki bulan Maharam atau yang sering dalam tradisi Jawa itu biasa di sebut dengan bulan Suro. Pementasan reog ponorogo merupakan rangkaian dari acara Grebeg Suro atau juga dalam rangka ulang tahun kota Ponorogo.
Dalam rangka menyambut tahun baru islam atau yang sering dikenal dengan sebutan tanggal satu Suro, pemerintah kabupaten Ponorogo mengadakan event budaya terbesar di Ponorogo yaitu Grebeg Suro. Saat Grebeg Suro berlangsung, biasanya saat pementasan kesenian Reog Ponorogo itu selalu dibanjiri penonton baik dari semua penjuru Ponorogo, bahkan karena pagelaran kesenian ini bertaraf nasional, tak jarang wisatawan dari luar daerah Ponorogo bahkan dari luar negeri pun turut hadir untuk melihat acara pagelaran kesenian Reog Ponorogo ini. Hal inipun dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Ponorogo sebagai salah satu senjata andalan untuk meningkatkan daya tarik wisata Ponorogo itu sendiri.
Selain festival Grebeg Suro, Festival Reog Mini tingkat nasional juga bisa menyedot antusias para wisatawan. Seluruh peserta yang mengikutinya merupakan generisa muda, rata-rata mereka masih duduk dibangku sekolah setingkat SD atau SMP. Salah satu tujuan dari festival Reog Mini tingkat nasional adalah untuk tetap menjaga kesenian ini terus berlangsung turun temurun, karena generasi muda inilah kelak yang akan meneruskan kesenian Rog ini. Semua pola kegiatan yang ada di festival Reog Mini hampir sama dengan Festival Reog Nasional, yang membedakannya hanya pada peserta sera waktu pelaksanaannya saja. Waktu pelaksanaan Festival Reog Mini ini pada bulan Agustus.
Rangkaian pementasan kesenian Reog yang lainnya dan tak kalah seru dari pementasan sebelumnya yaitu pementasan atau pertunjukan Reog Bulan Purnama. Pertunjukan ini selalu rutin dilaksanakan bertepatan dengan adanya malam bulan purnama. Biasanya peserta yang ikut dalam pentas ini merupakan grup-grup lokal perwakilan dari kecamatannya masing-masing. Selain itu dalam pementasan ini juga sering dijumpai beberapa pertunjukan tari garapan yang berasal dari sanggar seni yang ada di Ponorogo.

Sejarah Reog Ponorogo




Banyak cerita yang berbeda-beda akan sejarah Reog Ponorog yaitu hadir, namun cerita yang paling populer dan berkembang di masyarakat adalah cerita tentang pemberontakan dan perlawanan seorang abdi kerajaan yang bernama ki Ageng Kutu Suryonggalan pada masa kerajaan Majapahit Bhre Kerthabumi. Bhe Kertabumi itu sendiri adalah raja Majapahit yang berkuasa sekitar abad ke-15.
Di ceritakan sang raja sangat korup dan bertindak dzhalim kepada rakyatnya, hal ini membuat seorang Ki Ageng Kutu marah kepada sang raja. Apalagi didapati permaisuri sang raja yang keterunan cina mempunyai pengaruh kuat pada kerajaan. Selain itu, sahabat permaisuri yang masih keturunan Cina mengatur segala gerak-geriknya. Saat itu Ki Ageng Kutu berpendapat, kekuasaan kerajanan Majapahit akan segera berakhir jika hal ini terus dibiarkan begitu saja. Kemudian dia akhirnya meninggalkan sang raja dan mendirikan sebuah perguruan yang didalamnya mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri kepada anak-anak muda. Dia berharap, kelak anak-anak muda ini akan membuat kebangkitan kerajaan Majapahit seperti sedia kala dan bisa melawan terhadap kerajaan Bhre Kerthabumi.
Namun Ki Ageng Kutu juga menyadari, pasukan yang dia bangun masih terlalu kecil dan belum terlalu kuat untuk mmelakukan perlawanan terhadap pasukan kerajaan. Oleh karenanya, Ki Agung hanya mampu memanfaatkan kepopuleram Reog. Seni Reog ini dimanfaatkan oleh Ki Agung sebagai sarana untuk mengumpulkan massa sebagai perlawanan terhadap kerajaan. Selain itu, hal ini dilakukan oleh Ki Agung sebagai sarana komunikasi utuk menyindir penguasa pada waktu itu.
Dalam pertunjukan Reog, ditampilkan sebuah topeng berbentuk kepala singa yang biasa dikenal “Singa Barong”. Selanjutnya ada juga topeng yang berbentuk raja hutan yang dijadikan simbol untu Kerthabumi. Di atas topeng-topeng itu ditancapkan pula bulu-bulu merak sehingga seperti kipas raksasa yang melambangkan pengaruh kuat para kerabat cinanya.
Jatilan dimainkan oleh kelompok penari gemblak yang menunggani kuda-kudaan yang menjadi lambang kekuatan pasukan kerajaan Majapahit. Hal ini menjadi perbandingan terbalik dengan kekuatan warok yang meraka memakai topeng badut merah yang menjadi lambang Ki Ageng Kutu. Jathilan sendiri adalah tarian yang menceritakan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih, tokoh ini disebut dengan Jathil. Sedangkan warok adalah orang yang mempunyai tekad suci yang memberikan perlindungan dan tuntunan tanpa mengharap pamrih.
Saat itu kepopuleran Reog yang dibuat oleh Ki Ageng Kutu membuat Bhre Kerthabumi mengambil tindakan yaitu menyerang perguruan Ki Ageng Kutu. Pemberontakan dan perlawanan oleh warok dengan cepat diatasi, begitupun perguruannya dilarang untuk melanjutkan pengajarannya lagi tentang warok. Akan tetapi, ternyata murid-murid Ki Ageng Kutu masih melanjutkannya walaupun secara diam-diam. Meski pada waktu itu perguruannya dilarang, namun kesenian Reog sendiri masih tetap diperbolehkan untuk diadakan karena sudah menjadi acara atau pementasan yang populer di mata masyarakat. Hanya saja jalan ceritanya mempunyai alur yang baru di mana saat itu ditambahkan dengan karakter-karakter dari cerita masyarakat Ponorogo yaitu Dewi Songgolangit, Kelono Sewandono dan Sri Genthayu.
Jika tadi sudah bercerita tentang versi reog Ponorogo yang paling populer, kini versi resmi sejarah Reog Ponorogo adalah cerita tentang seorang Raja Ponorogo bernama raja kelono yang berniat untuk melamar putri Kediri, yaitu Dewi ragil kuning Hanum. Saat akan melamar, di tengah perjalanan dia dihadang oleh Raja Singabarong yang berasal dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari singa dan merak, sedangkan dari pihak Raja Kelono dan wakilnya yaitu Bujang Anom, hanya dikawal oleh warok (seorang pria yang memakai pakaian hitam) yang mempunyai ilmu hitam mematikan. Dalam seluruh tarian yang mereka lakukan, keduanya mengadu ilmu hitam dan dalam tarian perangnya semua penari dalam keadaan kerasukan dalam mementaskan tariannya.
Ada juga persi lainnya mengenai sejarag Reog. kali ini ceritanya tentang perjalanan seorang prabu Kelana Sewandanan yang sedang mencari gadis pujaannya. Sang Prabu dalam perjalannya didampingi prajurit berkuda dan patihnya yang setia menemani bernama Pujangganong. Akhirnya sang Prabu menemukan pujaan hatinya, dan ia jatuh cinta kepada seorang putri Kediri yang bernama Dewi Saanggalangit. Namun ternyata Dewi Sanggalangit ini mau menerima Prabu dengan mengajukan satu syarat kepadanya. Tak lain ternyata syarat itu adalah Sang Prabu harus menciptakan sebuah kesenian baru. Singkat cerita, kesenian yang menjadi syarat itu dengan nama Reog yang didalamnya dimasukan unsur mistis dan kekuatan spiritual.
Sampai Saat ini masyarakat Ponorogo terus mengikuti dan menjaga warisan leluhur ini dengan sangat baik. Dalam perjalanannya Seni reog adalah cipta kreasi manusia yang terbentuk dari adanya aliran kepercayaan secara turun temurun dan masih terjaga keasliannya. Dalam pelaksanannya, upacara sebelum melakukan Reog Ponorogo ini menggunakan syarat-syarat yang tidak mudak dilakukan bagi orang awam. orang yang melakukan kesenaian inipun harus memiliki garis keturunan parental yang jelas dan hukum adat yang masih berlaku.
Sayangnya perubahan zaman dan perilaku manusia itu sendiri menyebabkan terjadinya pergeseran makna yang ada dalam kesenian Reog Ponorogo. Di Ponorogo sendiri kina masyarakat setempat hanya menganggap kesenian Reog merupakan pemeriah atau hiburan saja dari sebuah acara. Contohnya pementasan dan pertunjukan Reog yang dilombakan pada acara-acara tertentu saja yang bertujuan untuk memeriahkan acara itu, misalnya perlombaan dalam suatu festival.

Tari Reog Ponorogo




Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rentetan dua hingga tiga tarian pembukaan. Sekitar enam sampai sembilan pria gagah berani yang memakai pakaian serba hitam dan mukanya dipoles warna merah membawakan tarian pertamanya. Digambarkan para penari ini merupakan sosok singa yang pemberani. kemudian datang enam hingga sembilan gadis menaiki kuda melanjutkan tarian Reog itu. Pada Reog tradisional, biasanya para penari ini diperankan oleh penari lak-laki yang berpakaian seperti wanita. Sebagai tarian pembuka, biasanya ada beberapa anak kecil yang membawakan tarian dengan adegan yang sangat lucu. Nah, tarian yang dibawakan oleh anak-anak ini dikenal dengan sebuatan Bujang ganong.
Saat tarian pembuka sudah selesai, selanjutnya dipentaskanlah adegan inti yang isinya adalah sesuai dengan kondisi dimana seni reog itu ditampikan pada acara apa. Misalkan jika berhungangan dengan pernikahan, maka biasanya di adegan intu itu mereka menampilkan tarian adegan percintaan. Atau misal berhubungan dengan khitanan, maka bisanya bercerita tentang seorang pendekar.



Adegan dalamnseni ini biasanya tidak sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Untuk memeriahkan acara, selalu ada interkasi antara dalang dengan para pemain, atau kadang-kadang juga dengan penontong yang hadir. Apabila seroang pemain yang sedang tampil kelelahan, biasanya dia digantikan oleh pemain yang lain. Namun dari itu semua, hal yang terpenting juga adalah kepuasan yang bisa dirasakan oleh penonton itu sendiri.



 Pada adegan terakhir dari pementasan seni ini adalah Singa Barong. Para pemain menggunakan topeng yang berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu merak. Asal kamu tau saja, berat topeng itu bisa mencapai 50-60 kg. Topeng itu mereka bawa dengan menggunakan giginya. kemampuan yang diluar nalar itu mereka dapat dengan latihan yang berat, yang didalamnya juga terdapat latihan spiritual seperti berpuasa dan tapa.




Dikutip dari :

GREBEG SURO



Sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya. Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel(Wikipedia).
      Perayaan Grebeg Suro adalah acara yang diadakan Kabupaten Ponorogo setiap tahun guna menyambut datangnya tahun baru Islam (1 Muharram). Berbagai acara-acara dihelat di Kota Reyog dari awal bulan November ini seperti Tari SI Potro, Istighozah, Lomba Kakang Senduk, pameran-pameran karya masyarakat Ponorogo, pameran bonsai, Festival Reyog Nasional XVIII, dan masih banyak lagi. Grebeg Suro memiliki arti tersendiri bagi warga Ponorogo pada umumnya.Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.Grebeg suro merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa). Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun. Rangkaian Grebeg Suro di antaranya, prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Kemudian disusul pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang dihiasi. Berikutnya akan ada Festival Reog Nasional di alun-alun kota. Saat itu puluhan grup reyog di Jawa Timur bahkan dari Kutai Kartanagara, Jawa Tengah, Balikpapan, dan Lampung akan turut tampil memeriahkan acara meriah ini (Wikipedia)



      Kegiatan ini dirayakan untuk mengenang kejayaan kerajaan Bantarangin yang berjaya dan dikenalnya warok ( kesatria-kesatria pilih tanding yg sakti mandraguna. Acara yang selalu diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi tumpeng atau yang lainnya ini menurut banyak kalangan “hanya sebuah ritual” atau “upaya melestarikan budaya leluhur”. Grebeg Suro berikut acara pelepasan sesajiannya dengan maksud apa pun adalah pelanggaran yang besar terhadap ajaran Islam. Umumnya para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta maksud-maksud yang lainnya. Dan tidak sedikit juga -dari mereka- yang mengharapkan hal serupa dari para leluhur. Dalam buku-buku babad Ponorogo menyatakan bahwa, Batoro Katong (pendiri Ponorogo) adalah utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo, serta beliau adalah saudara kandung tapi lain ibu dari Raden Patah, Sultan Demak kala itu.Sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya. Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan reog didalamnya. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel


 
SEJARAH PONOROGO



  • BATHORO KATONG MENDIRIKAN KADIPATEN
Menurut Babad Ponorogo (Purwowidjoyo;1997), setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman ( yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman. Sekitar 1482 M eng konsulidasi wilayah mulai di lakukan.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
  • SEJARAH BERDIRINYA
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 Masehi, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Bathoro Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Ponorogo.
  • ASAL – USUL NAMA PONOROGO
Mengutip buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo (1997). Diceritakan, bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum’at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan “Pramana Raga”yang akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup, permono, wadi sedangkan Raga berarti badan,j asmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan mnempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.


BABAD PONOROGO









Ketika majapahit masih berkuasa di daerah ponorogo terdapat sebuah kademangan (kalau sekarang di sebut distrik) bernama kademangan kutu atau suru kubeng konon di katakan suru kubeng karena istana kademangan terdapat pohon suruh yang mengelilingi istana bahsa jawanya “suruh mubeng” pohon suruh itu kini masih ada di belakang sdn kutu kulon.

Demang dari kutu adalah ki demang soryo ngalam atau lebih di kenal dengan ki ageng kutu,ki ageng kutu yang bernama asli pujangga anom ketut suryo ngalam adalah seorang pembantu dekat bra kertabumi raja majapahit terakhir dan akhirnya ki ageng kutu memilih ke luar dari kerajaan majapahit karena tidak sejalan dengan bra kertabumi akhirnya membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini).
Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Raja pertama demak raden patah meberikan tugas kepada adiknya lembu kanigoro atau batoro katong untuk menaklukan wengker dan di suruh membabad tanah yang bundar seperti batok bertempat di antara sebelah timur gunung lawu dan sebelah barat gunung wilis tempat itu yang kemudian menjadi cikal bakal kabupaten ponorogo.
Di bantu oleh selo aji dan 40 santrinya Raden Katong akhirnya menemukan tempat seperti batok itu,yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme,setelah di babad banayk sekali penduduk yang terkena penyakit karena daerah itu terkenal angker pada akhirnya batoro katong mampu mengatasinya.
Di sisi lain ki ageng kutu yang merasa lebih dulu di wengker tidak terima, Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu yang terkenal sakti mandraguna. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri,Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil keris Koro Welang dan tombak tunggul naga, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. 

Pada hari jum’at wage (hari jum’at wage oleh masyrakat ponorogo terutama kaum abangan di kenal dengan hari naasnya ponorogo sehingga hari itu di keramatkan),pasukan ki ageng kutu yang di bantu dengan warok hongolono menyarang batorokatong waktu itu batorokatong dan para prajuritnya sedang melaksanakan ibadah sholat jum’at sehingga tidak sedikit korban dari batorokatong tetapi batorokatong dapat mengatasinya dengan bantuan selo aji dan kiyai mirah akhirnya ki ageng kutu lari
Ki ageng kutu lari ke  arah selatan maju-maju sekarang daerah itu di namakan paju, lari lagi ke arah timur ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh lalu dengan ajian kiyai mirah kepuh itu rubuh daerah itu di namakan poh ruboh,larai lagi ke arah selatan ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh sebanyak 5 kali daerah itu di namakan poh limo (lima),lari lagi ke arah utara ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh lalu dengan ajian selo aji kepuh itu terbakar (gosong) sekarang daerah itu di namakan poh gosong,lari lagi ke utara  ki ageng kutu bersenbunyi di pohon maja yang besar batoro katong menghantam dengan tombak tunggul naga maja itu mati sekarang daerah di namakan mojomati,lari lagi ke arah selatan menyebrang sungai ki ageng kutu terlihat sekilas dan tidak nampak lagi bahsa jawanya “mak klebat sak klebatan” daerah itu di namakan kebatan,lari lagi ke arah selatan mendaki gunung dan menengelamkan diri di sebuah  belik (belik itu adalah belik gaib hanya orang tertentu yang bisa melihat belik itu),batorokatong dan pasukanya menuggu lama tapi ki ageng kutu tidak keluar-keluar airnya pun berbau busuk (bacin) batoro katong dan pasukanya mengira ki ageng kutu sudah meniggal akhirnya mereka turun tidak lama kemudian ki ageng kutu keluar dan dari atas berteriak “he…..batoro katong kalau kamu memang nyata-nyata sakti kejarlah aku” ki ageng kutu lari ke arah selatan ki ageng kutu tersandung sanding bahasa jawanya ke bancang-bancang sekarang daerah itu bernama bancangan,ki ageng kutu lari ke arah selatan batoro katong mengeluarkan keris koro weleng menjadi gelap gulita seketika bahasa jawanya peteng ki ageng kutu menjadi kebingungan di saat itulah batorokatong mengarahkan keris itu ke leher ki ageng kutu hingga kepala ki ageng kutu putus dan terjatuh ke beji tapi tanpa kepala ki ageng kutu masih bisa berlari ke gunung tataung hingga sekarang belum di ketahui di mana Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah  dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418
saka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 aka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

Ponorogo Tempoe Doloe





Pertunjukan reog di Ponorogo pada sekitar tahun 1920-an. Penari bujangganong berdiri di sebelah kiri. Reog (atau Rajawana, "raja hutan") dimainkan oleh dua orang. Beberapa penari kuda kepang juga menyertai, lengkap dengan adegan kesurupan. Versi modern reog (rajawana) Ponorogo dimainkan oleh satu orang.
niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer).





Pembuatan Jembatan kereta api jurusan Madiun - Ponorogo - Slahung
11-08-1907
niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer).





Survei arkeologi di gua dekat Sampung, Ponorogo
Dr. W.G.N. (Wicher Gosen Nicolaas) van der Sleen (Fotograaf/photographer).









Pemandangan sungai dekat Ponorogo
Dr. W.G.N. (Wicher Gosen Nicolaas) van der Sleen (Fotograaf/photographer).








Gunung Kukusan terlihat dari Jalan Raya Ponorogo - Trenggalek
niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer).






2-4-0 B5012 en route from Ponorogo to Madiun on the Slahung branch in August 1978. The middle of these three bridges carries the main road. The far bridge carries the 75cm gauge line which ran alongside the road and the PNKA line and which served several sugar mills in the area.
Copyright James Waite
Taken 31 December 1969










 

2-4-0 no. B5012 leaving Ponorogo early in the morning with the branch train for Madiun. August 1978.

Copyright James Waite
Taken 31 December 1969












Not quite what it seems and this isn't really a race between the two trains! The PNKA line and the 75cm gauge sugar line crossed on the level just behind this photo. The sugar train had derailed on the crossing and Pagottan no. 8 had drawn the front part of the train forward to allow B5012 to pass with the Ponorogo to Madiun passenger train. August 1978.

Copyright James Waite
Taken 31 December 1969


Perempatan pasar legi Ponorogo tempoe doeloe
-Parade TK Aisyah Ponorogo 1960an



 




Jalan Hayam Wuruk tahun 1960, kini berubah menjadi Jalan Ahmad Dahlan.








Dikutip dari :


Rabu, 07 September 2016

 SENTRA INDUSTRI KULIT



Jika anda pernah mendengar legenda cinta terlarang Golan-Mirah di TV,maka Nambangrejo adalah nama desa dimana dusun Mirah terletak. Desa Nambangrejo sudah sejak lama dikenal sebagai sentra pengrajin kulit di Ponorogo.
“Kerajinan kulit di Nambangrejo sudah lama turun temurun, istilahnya sudah dari mbah buyut…dahulu itu sejarahnya pengrajin pelana kuda,istilah jaman dahulu namanya lapak. Jaman berganti lalu kerajinan kulit yang dibuat mengikuti jaman,ada sandal,sepatu,dompet,tas,atau sabuk khas ponorogo (sabuk othok)” ucap bapak Achmad Zaini warga dusun Tengah desa Nambangrejo menerangkan sejarah kerajinan kulit di Nambangrejo.



Di singgung mengenai kualitas dan pangsa Pasar,pak Zaini menjelaskan bahwa industry kulit seperti halnya industry lain tergantung pada kondisi dan selera masyarakat. “Orang kan maunya harga murah,kualitas bagus..itu ya bisa..tapi bagusnya ya bagus bagusan alias tidak bagus sungguhan”..Ucap Pak Zaini bercanda.
“Soal kulit itu butuh kejelian mas,kalau bukan ahlinya susah dibedakan di mata awam mana kualitas kelas A,B,C dan sebagainya.Pengolahan kulit juga menentukan kualitas bahan baku. Bahan kerajinan kulit paling bagus kulit sapi, lalu kulit domba dan kambing” imbuh Pak Zaini.
Potensi
“ Setiap pedagang punya pangsa pasar, seperti saya ini bisa membuat sepatu,dompet,tas juga bisa..tapi saya focus pada pembuatan asesoris sepeda kuno seperti tas sepeda jaman dahulu itu.Pembeli dari dari Jakarta,luar Jawa, pokoknya dari berbagai wilayah Indonesia.Kalau sabuk othok (sabuk khas Ponorogo) itu warga Dusun Santren desa Nambangrejo yang buat” Ucap Pak Zaini
Tradisi turun temurun membuat kerajinan kulit ini membuat banyak pemuda Nambangrejo yang mempunyai keahlian membuat kerajinan. “Banyak yang bekerja di Bali dengan pangsa pasar para turis mancanegara,tapi bos nya orang Bali. Pertama alasanya soal modal,kedua tradisi,ketiga kemampuan komunikasi dan bahasa dengan para pembeli dari luar negeri.” urai Pak Zaini di akhir percakapan.


Dikutip dari : https://id-id.facebook.com/SemuaTentangPonorogo/posts/774615789262104

LARUNG SESAJI 




Ponorogo, kota Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Timur. Disanalah terletak Ngebel sebuah kecamatan seluas 6 ribuan kilometer persegi. Letak persisnya ada di kaki Gunung Wilis. Perlu 1 1/2 jam berkendaraan dari pusat kota kabupaten. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat. Entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini. Pada malam 1 Suro yang dalam penanggalan Islam berarti 1 Muharam, ada sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa. Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan bukit merupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya.
Perahu rekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintasi telaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu kian menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, tim Teropong pun diantar Anam Ardiansyah, budayawan asal Ponorogo menemui Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya Mbah Budi. Ia adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.

Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat. Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejak itu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel. Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit. Bencana yang selalu datang hingga kini. Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat.

Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong. Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong. Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju. Batoro Katong yang merupakan putra Raja Brawijaya ke V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga. Tempat Batoro Katong singgahpun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan memberi sesaji di tempat ini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya. Puncaknya adalah saat malam 1 Suro. 

 Sagun Yang Tangguh

Pagi menjelang malam 1 Suro saat udara sedingin es, warga Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing kedit akan disembelih. Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Sang kepala akan dilarung ke telaga nanti malam dan kaki kambing akan ditanam di empat tempat keramat. Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.

Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.Malam 1 Suro, Kami pun kembali menuju telaga. Larung sesaji akan berlangsung malam ini. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan. Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi.

Akhirnya, Kami sampai di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan. Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca bersama-sama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat.

Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ke tengah telaga dibawa Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.

Mengapa Ada Larung Lagi
                                                                                  
Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar. Tapi yang ini lebih sebagai modifikasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo. Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam.

Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan datang ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah pengunjung yang datang menyaksikan larungan pag ini, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari.

Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan Kami bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan kedasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang, kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.




About me

About me

Labels

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Followers

Featured Posts

Social Icons

Pages

Popular Posts

Recent Posts